Jika kita menengok bangunan yang
berada di sekitaran Braga dan Naripan, tentu rasanya bak kita berada di masa
Hindia Belanda dulu. Saat itu, bangunan berbaris dan terkesan rapi dengan
persimpangan jalan yang teratur tampak sedap dalam kasat mata.
Tak jauh berbeda
dengan sekarang. Arsitektur fisik yang masih asli dan gedung tua peninggalan
kolonial masih kental akan “Bandoeng Tempo Doeloe”.
Hingga dekade 1905, jalanan Braga
dan Naripan masih ditimbuni pepohononan rindang. Suasana kian asri saat bahu
jalan dilengkapi trotoar untuk pelancong yang ingin menikmati suasana dengan
berjalan kaki.
Seiring bertambahnya bangunan
rumah dan toko, masuknya tahun 1910-an jalanan ini mulai berkurang keasriannya.
Terhitung banyak pohon besar yang ditebang dan trotoar semakin berkurang. Pada
saat itu mulailah berbagai aktivitas muncul dan meramaikan daerah ini. Sehingga
jalan ini di kenal sebagai wilayah pertokoan elit.
Kita akan mencoba mnelusuri jejak
kemasyuran satu gedung yang bertepatan di persimpangan jalan Braga dan Naripan.
Ya, edung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). Suatu gedung yang smepunyai peran
penting dari aktivitas kawasan Braga atas kasta golongan Pribumi dan kaum
kolonial elit. Check this out.
Gedung ini dulunya bernama Ons Genoegen. Diambil dari nama sebuah
kelompok perkumpulan bangsa belanda yang muncul di kawasan Braga. Cikal bakal
perkumpulan ini terbentuk bermula dari
maraknya kegiatan perkebunan di sekitar kota Bandung pada tahun 1980-an.
Pada
akhir pekan, kolonian pemilik kebun yang setiap harinya bekerja di perkebunan, sengaja “turun gunung “ untuk
liburan ke kota. Awalnya mereka biasa mengadakan kumpul-kumpul kecil di sebuah
toko. Lambat laun, mereka membutuhkan tempat untuk bersosialisasi, berkumpul,
sekaligus bersantai dan bertukar informasi.
Ons Genoegen belum memiliki
gedung khusus, pada waktu itu bangunannya mash berbentuk rumah. Baru pada tahun
1930-an, arsitek G.J. Bel bersama biro pembangunan Hulswit, membangun gedung
ini menjadi seperti yang sekarang kita temui.
Kehadiran gedung ini sangat
penting bagi aktivitas Braga waktu itu karena dapat menampung banyak kasta atau
golongan. Dibandingkan dengan tempat lain, seperti gedung Merdeka (Gedung
Concordia) yang hanya digunakan olehi kalangan elit (penjabat pemerintah
kolonial), gedung Ons Genoegen sering dihardiri golongan koloni, Indo-Belanda
(sipil maupun militer), dan bahkan kaum pribumi.
Sering kali di sini mementaskan
bebagai pertunjukan. Salahsatu pentas pribumi yang pernah dipertnjukan ialah
Tonil dari Batovis atau Perkumplan Tonil Mahasiswa Indonesia di Bandung.
Penampilan ini sangat di kenang karena salah satu pentolan kelompok ini adalah
Sutan Sjahrir.
Pentas-pentas Tonil para kalangan terpelajar Pribumi inilah yang
turut mendukung kegiatan perkumpulan kaum Indonesia, seperti Jong Indonesia dan
Tjahja Volksuniversiteit. Dari diskusi kecil perkumpulan tersebut lahirlah
pemikiran akan semangat Nasional dan disebarkan dalam pertunjukan teater.
Bangunan tua Ons Genoege yang
kita kenal sebagai gedung Yayasan Pusat Kebudayaan, sekarang dimanfaatkan
sebagai tempat perkumpulan dan pementasan berbagai kegiatan seni budaya. Dari
berbagai kota di Provinsi Jawa Barat, tempt ini sering menjadi pusat berbagai perlombaan kesenian.
Mulai dari kalangan Pemerintah, sekolah-sekolah, dan pihak umum pun dapat
berkontribusi di sini. Kita tahu grup tari Rumingkang jebolan ajang pencarian
bakat TV Swasta, bermula dari pementasan keliling, termasuk di gedung YPK ini.
Dan banyak lagi kegiatan-kegiatan beraroma budaya, khususnya sunda, yang
menjadikan tempat ini selalu dikenang akan pertunjukan yang sarat sejarahnya.