Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 19 Maret 2015

Gedung Tua Yayasan Kebudayaan yang Sepi Pengunjung

21.05


Jika kita menengok bangunan yang berada di sekitaran Braga dan Naripan, tentu rasanya bak kita berada di masa Hindia Belanda dulu. Saat itu, bangunan berbaris dan terkesan rapi dengan persimpangan jalan yang teratur tampak sedap dalam kasat mata. 

Tak jauh berbeda dengan sekarang. Arsitektur fisik yang masih asli dan gedung tua peninggalan kolonial masih kental akan “Bandoeng Tempo Doeloe”.

Hingga dekade 1905, jalanan Braga dan Naripan masih ditimbuni pepohononan rindang. Suasana kian asri saat bahu jalan dilengkapi trotoar untuk pelancong yang ingin menikmati suasana dengan berjalan kaki.

Seiring bertambahnya bangunan rumah dan toko, masuknya tahun 1910-an jalanan ini mulai berkurang keasriannya. Terhitung banyak pohon besar yang ditebang dan trotoar semakin berkurang. Pada saat itu mulailah berbagai aktivitas muncul dan meramaikan daerah ini. Sehingga jalan ini di kenal sebagai wilayah pertokoan elit.

Kita akan mencoba mnelusuri jejak kemasyuran satu gedung yang bertepatan di persimpangan jalan Braga dan Naripan. Ya, edung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). Suatu gedung yang smepunyai peran penting dari aktivitas kawasan Braga atas kasta golongan Pribumi dan kaum kolonial elit. Check this out.

Gedung ini dulunya bernama Ons Genoegen. Diambil dari nama sebuah kelompok perkumpulan bangsa belanda yang muncul di kawasan Braga. Cikal bakal perkumpulan ini  terbentuk bermula dari maraknya kegiatan perkebunan di sekitar kota Bandung pada tahun 1980-an. 

Pada akhir pekan, kolonian pemilik kebun yang setiap harinya bekerja  di perkebunan, sengaja “turun gunung “ untuk liburan ke kota. Awalnya mereka biasa mengadakan kumpul-kumpul kecil di sebuah toko. Lambat laun, mereka membutuhkan tempat untuk bersosialisasi, berkumpul, sekaligus bersantai dan bertukar informasi.

Ons Genoegen belum memiliki gedung khusus, pada waktu itu bangunannya mash berbentuk rumah. Baru pada tahun 1930-an, arsitek G.J. Bel bersama biro pembangunan Hulswit, membangun gedung ini menjadi seperti yang sekarang kita temui.

Kehadiran gedung ini sangat penting bagi aktivitas Braga waktu itu karena dapat menampung banyak kasta atau golongan. Dibandingkan dengan tempat lain, seperti gedung Merdeka (Gedung Concordia) yang hanya digunakan olehi kalangan elit (penjabat pemerintah kolonial), gedung Ons Genoegen sering dihardiri golongan koloni, Indo-Belanda (sipil maupun militer), dan bahkan kaum pribumi. 

Sering kali di sini mementaskan bebagai pertunjukan. Salahsatu pentas pribumi yang pernah dipertnjukan ialah Tonil dari Batovis atau Perkumplan Tonil Mahasiswa Indonesia di Bandung. Penampilan ini sangat di kenang karena salah satu pentolan kelompok ini adalah Sutan Sjahrir. 

Pentas-pentas Tonil para kalangan terpelajar Pribumi inilah yang turut mendukung kegiatan perkumpulan kaum Indonesia, seperti Jong Indonesia dan Tjahja Volksuniversiteit. Dari diskusi kecil perkumpulan tersebut lahirlah pemikiran akan semangat Nasional dan disebarkan dalam pertunjukan teater.

Bangunan tua Ons Genoege yang kita kenal sebagai gedung Yayasan Pusat Kebudayaan, sekarang dimanfaatkan sebagai tempat perkumpulan dan pementasan berbagai kegiatan seni budaya. Dari berbagai kota di Provinsi Jawa Barat, tempt ini sering  menjadi pusat berbagai perlombaan kesenian. 

Mulai dari kalangan Pemerintah, sekolah-sekolah, dan pihak umum pun dapat berkontribusi di sini. Kita tahu grup tari Rumingkang jebolan ajang pencarian bakat TV Swasta, bermula dari pementasan keliling, termasuk di gedung YPK ini. 

Dan banyak lagi kegiatan-kegiatan beraroma budaya, khususnya sunda, yang menjadikan tempat ini selalu dikenang akan pertunjukan yang sarat sejarahnya.